Pendekatan orang Jepang adalah dengan memberikan perhatian pada manusia di atas dua faktor lainnya; bahan dan mesin dalam persamaan manajemen. Dalam filosopi manajemen orang Jepang, manusia tidak hanya dianggap sebagai faktor produksi tetapi juga sebagai akhir dari keseluruhan usaha manajemen. Praktek ini rupanya membuat mereka mencapai kesuksesan besar dalam persaingan bisnis internasional pada tahun 1970-an.
Dalam bisnis dan industri di Barat, ada semacam sifat kegilaan terhadap menajemen orang Jepang dimana ada sekelompok manajer Amerika yang ingin bekerja pada perusahaan orang Jepang tanpa dibayar selama mereka mampu mempelajari seni manajemen orang Jepang. Alasan utamanya adalah pada waktu itu produksi industri Jepang sedang booming dan menguasai pasar dunia. Industri Jepang telah mengungguli hampir semua Negara di Barat dalam produksi komoditas seperti motor, mobil, kamera, jam, dan komputer. Secara ekonomi Jepang tetap kuat dalam menghadapi krisis minyak dan resesi ekonomi global, sementara banyak Negara di Barat mengalami inflasi, Jepang telah sukses membendung inflasi dan meningkatkan produktivitasnya.
Berdasarkan para ahli Jepang, manajemen orang Jepang sebagian besar dipengaruhi oleh sejarah masa lalu. Tahun-tahun antara 1945 sampai 1965 dikenal dengan periode imitasi atau tiruan. Selama periode ini Jepang hanya meniru dan mengkopi dari Negara Barat, terutama Amerika Serikat, dalam bidang manajemen dan teknologi. Kekalahan mereka pada Perang Dunia II membuat orang Jepang menjadi merasa rendah diri terhadap orang-orang Amerika dan Eropa. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di akhir tahun 1950-an telah membawa perubahan besar. Orang Jepang mulai mendapatkan kembali rasa percaya diri mereka dan mengatasi rasa rendah diri mereka yang kompleks. Kemakmuran dan kebanggaan baru membuat Jepang melakukan berbagai eksperimen dalam berbagai bidang termasuk bidang manajemen. Sejak saat itu, orang Jepang mulai menyadari bahwa sistem manajemen Amerika bukanlah metode yang terbaik di dunia untuk memanaje perusahaan, tidak juga Jepang.
Dalam mempelajari manajemen Jepang tidak boleh tidak membutuhkan pengertian yang cermat terhadap dimensi dan konsep kerja masyarakat Jepang. Orang Jepang terkenal dengan kerja kerasnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh lahannya yang relatif jarang, penduduknya yang banyak dan padat, memiliki cuaca yang buruk, dan tidak mempunyai sumberdaya alam. Jepang juga menghubungkan etika kerja mereka dengan kepercayaan agamanya. Budha Zen mengajarkan bahwa melalui kerja dan kreasi mereka akan mencapai kesempurnaan pemabangunan watak. Oleh karena itu, bagi orang Jepang pekerjaan mempunyai nilai dan memberikan arti yang mendalam bagi kehidupan mereka.
Aspek lain dari masyarakat Jepang berkaitan dengan etos kerja adalah latar belakang sejarah mereka. Telah berabad-abad Jepang telah dipimpin oleh kelas militer atau kelompok Samurai. Kelompok Samurai telah menanamkan dalam diri orang Jepang pentingnya kerja keras. Mereka memberikan penghargaan yang tinggi terhadap aktivitas fisik ketimbang kebangggaan intelektual.
DIMENSI BUDAYA DAN MANUSIA
Manajemen orang Jepang memberikan tekanan kepada para pekerja sebagai modal utama dan terpenting dalam perusahaan. Dalam konteks ini manajer-manajer Jepang menggunakan sistem seumur hidup bagi para pekerja. Pada umumnya, perusahaan-perusaan Jepang berharap bisa memperkejakan para pekerja selama 34 sampai 40 tahun, sampai mereka berhenti. Sistem pekerjaan seumur hidup mempunyai dua pengaruh positif. Pertama, sistem tersebut menjamin kontinuitas dan kekuatan pekerja dan mendorong para pekerja untuk berpartisipasi dalam area manajemen perusahaan. Kedua, ketika para pekerja mempunyai rasa aman dalam perusahaan, sikap mereka terhadap inovasi dan teknologi adalah positif. Tidak seperti di Negara Barat, di Jepang penggunaan robot dalam pabrik dapat diterima dengan baik oleh para pekerja.
Karakateristik industri Jepang yang menyolok dan merupakan pelajaran yang berharga adalah harmonisnya hubungan antara para pekerja dan manajemen. Di Jepang tidak ada konflik yang berarti antara buruh dan manajer atau antara perusahaan dengan pemerintah. Ada dua alasan untuk hal ini. Pertama, orang Jepang tidak mengenal perbedaan kelas yang kuat. Secara ekonomi, mayoritas orang Jepang sekitar 69 persen menganggap diri mereka sebagai kelompok berpendapatan menengah atau menengah atas. Kedua, kekuatan buruh Jepang secara umum cukup terdidik, mampu dan mempunyai motivasi yang tinggi dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi di negerinya.
Dimensi budaya juga memainkan peran utama dalam bisnis orang Jepang dan industri dunia. Keselarasan dan kesatuan adalah karakteristik masyarakat Jepang secara keseluruhan. Keselarasan ini juga terasa kuat dalam perusahaan dikarenakan filosopi dan nilai-nilai persaudaraan dan perasaaan kesetiakawanan yang diterima oleh seluruh anggota perusahaan. Oleh karena itu, hubungan antara manajer dan pekerja berdasarkan filosopi, pada dasarnya perusahaan adalah sebuah keluarga besar di mana para anggotanya hidup bersama secara harmonis.
Dalam masyarakat Jepang “diri” tidak penting. Yang paling penting adalah semangat kerja tim; sebuah ide, di mana semangat tersebut telah mengakar begitu dalam dalam keluarga orang Jepang dan merupakan hal terbesar dalam kelompok. Ide ini juga berlaku di perusahaan. Buktinya adalah setiap pengakuan prestasi atau distribusi tugas langsung ditujukan kepada kelompok daripada individu. Begitu juga, setiap kesalahan dari seorang pekerja menjadi tanggungjawab kelompok.
Ada beberapa keuntungan mengunakan sistem tersebut di atas untuk meningkatkan semangat kerja tim bagi perusahaan terutama dalam menciptakan basis yang kuat. Pondasi ini dibuat bahkan diperkuat denngan fakta bahwa dalam perusahaan Jepang tidak ada hirarki status atau posisi di mana manajer, eksekutif, sopir, dan pekerja semuanya makan dengan makanan yang sama di kantin yang sama. Dampaknya adalah terbuka secara vertikal antara manajer dan para pekerja dan juga secara herizontal di antara anggota yang berbeda bagian atau golongan.
Sebuah istilah yang menonjol dalam sistem keluarga orang Jepang adalah “amae” kata ini melukiskan sebuah perasaan keterikatan antara anak terhadap cinta kepada ibunya. Bagaimanapun juga, ide keterikatan juga telah mempengaruhi hubungan personal di antara orang dewasa. Yang jelas, dalam perusahaan, “amae” memainkan peran utama dalam hubungan vertikal antara manajer dengan subordinatnya dan juga hubungan herizontal di antara para pekerja itu sendiri.
Salah satu dimensi budaya Jepang yang juga merupakan keuntungan bagi para manajer adalah bagaimana pendekatan mereka terhadap gejala seperti ketidakjelasan, ketidakpastian, ketidaksempurnaan dan kepercayaan. Situasi yang demikian sering terjadi dalam perusahaan yang menggunakan manajemen pendekatan Barat yang perlu di atasi dengan segera dan sungguh-sungguh.
KESIMPULAN
Tepat untuk disimpulkan bahwa pendekatan orang Jepang terhadap manajemen berdasarkan faktor manusia termasuk budayanya, sejarahnya, dan dimensi religius, nampaknya telah berhasil dan menguntungkan karena telah dibuktikan dari pengalaman orang Jepang sendiri.
Menurut Takeo Fujisawa, seorang ahli dari The Nomura Research Institut, manajemen orang Jepang adalah 90 % mirip dengan pendekatan Barat, akan tetapi 5 % yang membuat segalanya menjadi berbeda, karena 5 % tersebut terdapat aspek yang paling penting yaitu pendekatan manusia secara total.
Kebutuhan spiritual sama pentingnya dengan kebutuhan material. Ini adalah keseimbangan dua faktor yang telah membuat para pekerja Jepang mempunyai produktivitas yang tinggi. Perhatian terhadap faktor manusia dan semua yang terkait dengannya seperti budaya, sejarah dan agama sebagai satu unit produksi dalam manajemen orang Jepang telah menyebabkan perhatian dunia. Melalui pendekatan orang Jepang terhadap manajemen, negara-negara lain mulai sadar bahwa mereka tidak memberikan perhatian yang cukup kepada berbagai pandangan akan kebutuhan manusia. Manusia dan kebutuhan dan juga masalah-masalah sekarang nampak menjadi perhatian umum. Inilah alasan mengapa manajemen orang Jepang telah menjadi benar-benar pujaan global.
Pendekatan orang Jepang terhadap manajemen ketimbang yang lainnya telah membuat status Jepang sebagai salah satu ekonomi raksasa dunia pada akhir 1980-an. Menurut laporan the world Development Report Bank Dunia tahun 1993 pendapatan per kapita Jepang mencapai $26.930/tahun sementara USA hanya $22.240/tahun. Sedangkan Indonesia tertinggal jauh dari Jepang yang hanya memiliki pendapatan per kapita $600/tahun. Kemudian Jepang adalah anggota G7, sebuah organisasi dunia negara-negara kaya. Bagaimanapun juga pada pertengahan 1990-an meskipun posisi ekonominya yang kuat Jepang juga menghadapi masalah utama ekonomi yang berhubungan dengan melemahnya Yen, hutang yang buruk yang disebabkan oleh kesalahan manajemen sistem bank. Meskipun begitu Jepang hanya dihadapkan pada resesi ekonomi bukan kekacauan ekonomi dan bencana sebagaimana yang dialami oleh negara asia timur lainnya.
Source: Kompas, March 1984
The Economist, July 1998
Far Eastern Economic Review, May 1998
Wah, ternyata berita lama to?
BalasHapusKuakui memang yang namanya Jepang itu bisa dijadikan contoh kalau mau menerapkan manajemen yang SANGAT baik. Sampai sekarang pun aku masih mengagumi Jepang. Salut banget deh pokoknya...